Komisi XI Menilai Menkeu Kehilangan Arah soal Penempatan Dana Pemerintah

Fabiola Febrinastri | Dian Kusumo Hapsari
Komisi XI Menilai Menkeu Kehilangan Arah soal Penempatan Dana Pemerintah
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan. (Dok : DPR).

Perbankan akan menjadi tempat pertama terjadinya penyimpangan atau fraud.

Suara.com - Mencermati penjelasan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati soal skema penempatan dana pemerintah di bank-bank penyangga likuiditas dalam negeri atau bank jangkar sebesar Rp 87,59 triliun, tampak sekali kebijakan ini kian kehilangan arah alias ngawur.

Pernyataan ini disampaikan anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan dalam wawancara eksklusifnya kepada Parlementaria via Whatsapp, Rabu (2/5/2020).

“Menteri Keuangan dalam keterangannya secara virtual Senin, 18 Mei 2020 lalu, menyampaikan inkonsistensi kebijakan yang pelaksanaannya mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 dengan tidak kurang dari 12 skema, yang bertujuan mendukung proses restrukturisasi untuk mengembalikan kepercayaan penyaluran kredit modal kerja kepada masyarakat khususnya UMKM terdampak Covid-19,” katanya.

Dalam skema itu, Menkeu menjelaskan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan persetujuan mengenai bank yang dapat menjadi bank peserta atau anchor bank dalam program penempatan dana pemerintah berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh PP 23/2020, yaitu dillihat dari tingkat kesehatan, kepemilikan bank, dan jumlah aset.

Baca Juga: Timwas DPR Awasi Penggunaan Anggaran Penanganan Covid-19

Menkeu kemudian menekankan bahwa penempatan dana pemerintah itu bukan merupakan penyangga untuk membantu likuiditas bank.

Namun, lanjut Hergun, begitu ia biasa disapa, poin kedua penjelasannya, dinyatakan bahwa bank pelaksana atau bank yang melakukan restrukturisasi kredit/kekurangan likuiditas, menyampaikan proposal penempatan dana kepada bank peserta atau bank jangkar berdasarkan restrukturisasi yang dilakukan, jumlah dana yang dibutuhkan, dan seterusnya.

“Di sini jelas terlihat inkonsistensi dari kebijakan ini. Pertama dia katakan, penempatan dana tersebut bukan merupakan penyangga untuk membantu likuiditas bank. Tapi di poin kedua disebutkan, bank pelaksana atau bank yang melakukan restrukturisasi kredit/kekurangan likuiditas. Skema pada poin 1 dan poin 2 berseberangan,” ungkap politisi Partai Gerindra itu.

Sementara pada skema ketujuh yang disampaikan Menkeu, Kemenkeu menempatkan dana kepada Bank Peserta berdasarkan hasil assessment OJK dan proposal dari Bank Peserta yang memenuhi persyaratan dalam PP 23/2020, Pasal 11 (4) yang berbunyi: "Bank Peserta dapat memberikan dana penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila Bank Pelaksana tersebut merupakan bank kategori sehat berdasarkan penilaian tingkat kesehatan bank oleh OJK”.

Dalam PP 23/2020, Pasal 11 ayat (6) OJK dan/atau otoritas yang berwenang memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Bank Peserta dalam menyediakan dana penyangga likuiditas bagi Bank Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4).

Baca Juga: Merasa Didiskriminasi, Bahar bin Smith akan Surati DPR hingga Komnas HAM

"Bagaimana mungkin OJK dapat memberikan informasi yang objektif dan bisa dijadikan acuan dalam memitigasi risiko. Wong selama ini assesment dan fungsi pengawasannya saja sangat lemah? Bank dan BUMN akan menjadi wadah pertama terjadinya penyimpangan jika konsep KSSK ini dijalankan," tandas legislator dapil Jawa Barat IV itu lagi.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI