Kasus Suap Pajak saat Pandemi Jadi Rapor Merah dan Kerja Berat Pemerintah

Fabiola Febrinastri
Kasus Suap Pajak saat Pandemi Jadi Rapor Merah dan Kerja Berat Pemerintah
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati. (dok : DPR)

Pemerintah perlu mengkaji lebih dalam terkait pemberian insentif di masa pandemi.

Suara.com - Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati menegaskan, munculnya kasus dugaan suap di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, menjadi berita buruk dan rapor merah sekaligus pekerjaan besar bagi pemerintah. Kasus tersebut mencuat setelah Ketua KPK Alexander Marwata mengonfirmasi perihal dugaan suap pajak, namun KPK belum menyebut tersangka karena proses penyidikan masih berjalan.

“KPK tentu harus mengumpulkan alat bukti yang cukup kuat untuk mengungkap kasus ini ke publik. Kasus pajak ini terjadi di tengah pandemi, melimpahnya insentif dan risiko shortfall yang masih di depan mata. Ini menjadi berita buruk dan rapor merah sekaligus pekerjaan besar bagi pemerintah,” kata Anis, melalui rilis tertulisnya kepada awak media, Sabtu (6/3/2021).

Munculnya kasus ini, dinilainya menjadi ironi karena seharusnya antara otoritas pajak dan wajib pajak sama-sama memiliki kesadaran. Kesadaran yang dimaksud, yaitu kesadaran bahwa pajak itu sudah memenuhi 4 prinsip. Hal ini dimulai dari prinsip keadilan (equity) yaitu pengenaan pajak secara umum serta sesuai dengan kemampuan wajib pajak, kemudian prinsip kepastian (certainty), dimana pemungutan pajak harus dilakukan dengan tegas, jelas, dan terdapat kepastian dan jaminan hukum.

Prinsip kepastian tersebut, lanjut politisi PKS itu, seharusnya mampu memberikan kemudahan bagi wajib pajak mengenai objek pengenaan pajak, besaran pajak atau dasar pengenaan pajak. Selajutnya, prinsip kelayakan (convience) yakni pajak yang dipungut hendaknya tidak memberatkan wajib pajak serta hendaknya sejalan dengan sistem self assessment.

Baca Juga: Momen Ketika Gus Dur Gemparkan Sidang DPR, Anggota Dewan Tertawa Riuh

Terakhir, prinsip ekonomi (economy) yaitu pada saat menetapkan dan memungut pajak harus mempertimbangkan biaya pemungutan pajak dan harus proporsional.

Kondisi pandemi Covid-19 yang masih terjadi di tahun 2021, dapat kembali membuka risiko shortfall penerimaan perpajakan. Masa transisi akibat pelemahan ekonomi sebagai dampak pandemi masih dirasakan oleh semua sektor.

“Sementara kebijakan insentif perpajakan juga masih menjadi salah satu aspek penyumbang potensi shortfall di tahun ini. Walaupun di sisi lain, insentif yang diberikan pemerintah sebagai kelanjutan dari program insentif wajib pajak terdampak pandemi Covid-19, pasti menjadi hal yang sangat ditunggu dan menggembirakan bagi wajib pajak,” ungkapnya.

Karenanya Anis menilai, pemerintah perlu mengkaji lebih dalam terkait pemberian insentif di masa pandemi. Pemerintah didorong serius membuat skala prioritas dan meminimalkan risiko kerugian karena saat insentif pajak diberikan, artinya ada potensi penerimaan negara yang hilang.

Pemerintah juga harus menjunjung tinggi keadilan (equity), mengingat semua wajib pajak di semua sektor sangat terdampak pandemi Covid-19, tetapi tidak semuanya bisa mendapatkan insentif.

Baca Juga: Tanggapi KLB, Andi Arief: Apa Presiden Bisa Dimakzulkan oleh DPR Gadungan?

Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi kebijakan insentif perpajakan yang telah dilaksanakan.

“Jangan sampai kebijakan insentif pajak menjadi inefisiensi dan inefektivitas dengan narasi yang bagus tetapi tidak tepat sasaran,” tutup Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS itu.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI