Fadli Zon Tegaskan Pemberantasan Korupsi harus Komprehensif
Forum tersebut menjadi bagian dari upaya IPU membangun dimensi keparlemenan.
Suara.com - Presiden Southeast Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC), atau Organisasi Parlemen Asia Tenggara anti Korupsi, Fadli Zon menghadiri Forum Inter Parliamentary Union (IPU)-UN Annual Parliamentary Hearing. Forum tersebut merupakan pertemuan tahunan anggota parlemen dunia dan PBB. Tahun ini mengusung tema Fighting Corruption to Restore Trust in Government and Improve Development Aspects.
Berkesempatan menjadi panelis, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI itu mengaskan bahwa pemberantasan korupsi harus lebih komprehensif, mulai dari pencegahan hingga penindakan, dan semangat bersama dalam menerjemahkan elemen-elemen UNCAC (United Nations Convention against Corruption).
“Korupsi saat ini telah menjadi ancaman serius bagi pembangunan berkelanjutan. Dan bahayanya, ancaman itu hadir di dalam tubuh penyelenggara pemerintahan dan negara. Baik eksekutif maupun legislatif. Di tingkat nasional, regional, bahkan global,” kata Fadli melalui siaran persnya kepada Parlementaria, Jumat (19/2/2021).
Politisi Partai Gerindra itu menegaskan bahwa kolaborasi antar parlemen memiliki andil besar dalam memberantas korupsi. Selama ini, pendekatan tradisional yang bertumpu pada pembentukan undang-undang dan penegakan hukum, tak lagi memadai untuk membangun mekanisme efektif dalam pemberantasan korupsi.
Baca Juga: Baleg DPR: Ada Mekanisme Jika Revisi UU ITE Masuk Prolegnas Prioritas 2021
Karena itu tak heran, meski setiap negara berhasil memproduksi ratusan regulasi setiap tahunnya, namun corruption perception index (CPI) tidak mengalami peningkatan signifikan.
“Dalam tataran lebih teknis, selain dengan membangun sistem penegakan hukum yang kuat, diperlukan perapihan kerangka bersama dalam menggali elemen-elemen UNCAC, dan menerjemahkannya menjadi legislasi, kebijakan hingga aktivitas pengawasan. Anggota parlemen harus mempertimbangkan berbagai aspek, baik sosial politik, hingga kerangka hukum dalam menerjemahkan elemen UNCAC menjadi bagian dari intervensi parlemen,” imbuh anggota Komisi I DPR RI itu.
Hingga saat ini, Fadli menyayangkan masih adanya perbedaan dalam menerjemakan elemen UNCAC di setiap negara di Asia Tenggara. Pada sejumlah negara misalnya, pengungkapan asset masuk dalam produk legislasi, tetapi ada juga yang hanya menjadi Kode Etik maupun keputusan parlemen. Begitu pula dengan pendaftaran pemilik manfaat.
“SEAPAC saat ini tengah menyusun program memetakan pelaksanaan dan pengaturan UNCAC untuk mengetahui kekuatan, tantangan dan metode terbaik melaksanakannya,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut, SEAPAC juga berkomitmen mendorong adanya kerjasama antarparlemen dalam pemberantasan korupsi pada satu platform bersama. Dan dalam konteks ini, SEAPAC membuka diri kepada setiap anggota parlemen, mantan anggota parlemen, dan organisasi-organisasi internasional untuk dapat saling berkolaborasi.
Baca Juga: Komisi XI DPR: Pembiayaan Investasi Pemerintah Harus Makin Optimal
Guna mendukung ekosistem pemberantasan korupsi, diperlukan regulasi kuat untuk memberikan perlindungan pelapor. Saat ini, sebagian besar negara telah memiliki regulasi. Namun aspek mengenai perlindungan akan laporan balik atau aksi balasan, hingga pemecatan dari tempat kerja karena melaporkan perbuatan korupsi masih perlu diperdalam.
Sebagai informasi, forum yang berlangsung selama dua hari itu juga turut menghadirkan sejumlah pembicara termasuk Ketua GOPAC Ahmed bin Abdullah bin Zaid Al Mahmoud, Co-Fasilitator Negosiasi Deklarasi UNGASS Eric Anderson Machado yang juga Peru Permanent Representative di Kantor PBB Vienna, dan Eksekutif Direktur UNODC Ghada Fathi Waly.
Forum tersebut menjadi bagian dari upaya IPU membangun dimensi ‘keparlemenan’ terkait isu PBB, yang tahun ini berfokus pada UN General Assembly Special Session (UNGASS) Against Corruption. Untuk itu, GOPAC dan SEAPAC sebagai jaringan anggota parlemen dengan status konsultatif pada UN ECOSOC telah menyumbangkan kontribusi tertulisnya untuk UNGASS.